6 Juli 2014 0 komentar

Jodoh di Tangan Tuhan



Sore itu, sejam sebelum kepergianmu aku ingat kau memintaku agar kita bertemu sejenak. Sepintas goresan senyum dibuat oleh wajah ku, akhirnya sekian temu yang sering kita tunda dalam beberapa kesempatan tak lagi akan kubiarkan terlewatkan, sebab rindu sudah menjadi sesak, aku hanya ingin ia tenang ketika beberapa hal meningatkan tentang kamu, namun betapa aku tak menyangka pikirku tatapan rindu yang akan kita segerakan adalah perihal temu yang
telah lama menghujat batin, tapi nyatanya meski dengan lembut tutur katamu kau ucapkan padaku,
bertambah akrablah aku dengan sesak, sayang.

Kepergianmu terlalu cepat bagiku, bagaimana kamu begitu teganya meninggalkan ruang yang segalanya sudah terisi perihal kamu,
rindu yang telah lama bersedia menunggu, bersedia menikmati duka,
ikhlas dengan segala luka bukannya kau tata rapi justru sedemikian remuknya mendengar segala
kesaksian pahitmu.

Rasanya baru kemarin aku bertemu dan dengan cepat menepikan hati pada segala semoga yang kupanjatkan pada Tuhan dengan mewakilkan kamu sebagai jawabannya. Sungguh bodoh jka itu ku anggap mimpi, tapi memang seperti mimpi dalam kenyataannya.
Padahal kemarin, ragamu masih sanggup disentuh manjanya aku.
Kemarin, ragamu adalah sandaran paling nyaman bagi lebam yang hidup menyesakkan.
Kemarin, ragamu adalah terapi kehidupan disaat aku begitu monoton dalam sakit yang tak sepantasnya.
Dan kemarin, engkau raga dari segala tubuh dimana rindu hanya menuju satu. Puannya. Sekarang, apalagi ragamu, sehempas angin yang tak lagi dapat kupeluk saat sakit atas rindu terlalu keterlaluannya, tak lagi dapat ku ciumi aroma tubuhnya yang merebah  bagai racun dalam darah, sehingga segalanya hanyalah kamu ditubuhku.

Sore itu, aku seperti raja dalam permainan caturmu. Kau buat skakmat. Aku tak tahu harus bagaimana, aku telah jatuh. Jujur aku tak sanggup merelakanmu pergi, hatiku ada disana, bersamamu.
Bukannya aku tak mengerti, tapi memang mengawali ikhlas harus dimulai dari hati, sementara itu hatiku tak sengaja kau bawa lari, pahamilah. Aku tak sanggup hidup tanpa hati.

Sore itu, apa yang bisa kutampakkan dihadapanmu selain sebuah kepura – puraan ? Tak ada.
Mataku enggan membuka sebab aku tahu, akan ada basah yang tak lagi dapat dibendung mataku dengan melihat setapak demi setapak suatu perpisahan denganmu. Menatapmu aku tak yakin sanggup, Puan.
Kau lihat senyum itu ? Di wajahku ? Hanya agar kamu tak mengira – ngira aku luka.
Biar, sekalipun kamu ku tahan, akhirnya akan meninggalkan juga—kan.

Sekalipun aku ingat betul, katamu “aku tidak pergi untuk meninggalkan, apalagi menjauhimu, sayang. Aku pasti pulang”. Walau begitu apa yang kau sisakan untuk ku nikmati sekarang ? Kesendirian, bukan.

Dengar, aku tak yakin sanggup menjalani hubungan jarak jauh dengan waktu yang cukup lama, sekalipun iya, aku harus cukup kuat untuk membangun hati yang tabah.
“berbaliklah, lalu pergi”. Aku hanya tak ingin kau sempat melihat diam yang tak mampu dijelaskan; tangisku. Supaya kau ingat, kutinggalkan pelukan. Kelak ketika kamu jatuhkan rindu di tanah dahulu, kenanglah aku; gigil yang masih perlu hangat --- kamu.

Dan sore itu aku sadar, meskipun ribuan tangis ku jatuhkan, ratusan mohon ku lantunkan, kamu tak akan tetap tinggal. Kemudian hari aku hanya percaya , jika memang dirimulah apa yang selalu kupinta dalam semoga pasti Tuhan akan menjadikannya, namun jika tidak, tetap terbilang “Jodoh ada ditangan-Nya”.



Hidup berarti Mati
Aku mencintaimu
 
;