Sore itu, sejam sebelum kepergianmu aku ingat kau memintaku agar kita bertemu sejenak.
Sepintas goresan senyum dibuat oleh wajah ku, akhirnya sekian temu yang sering
kita tunda dalam beberapa kesempatan tak lagi akan kubiarkan terlewatkan, sebab
rindu sudah menjadi sesak, aku hanya ingin ia tenang ketika beberapa hal
meningatkan tentang kamu, namun betapa aku tak menyangka pikirku tatapan rindu yang akan kita segerakan adalah perihal temu yang
telah lama menghujat batin, tapi nyatanya meski dengan lembut tutur katamu kau ucapkan padaku,
bertambah akrablah aku dengan sesak, sayang.
telah lama menghujat batin, tapi nyatanya meski dengan lembut tutur katamu kau ucapkan padaku,
bertambah akrablah aku dengan sesak, sayang.
Kepergianmu terlalu cepat bagiku, bagaimana kamu begitu teganya meninggalkan ruang yang segalanya sudah terisi perihal kamu,
rindu yang telah lama bersedia menunggu, bersedia menikmati duka,
ikhlas dengan segala luka bukannya kau tata rapi justru sedemikian remuknya mendengar segala
kesaksian pahitmu.
Rasanya baru
kemarin aku bertemu dan dengan cepat menepikan hati pada segala semoga yang
kupanjatkan pada Tuhan dengan mewakilkan kamu sebagai jawabannya. Sungguh bodoh
jka itu ku anggap mimpi, tapi memang seperti mimpi dalam kenyataannya.
Padahal kemarin, ragamu masih sanggup disentuh manjanya aku.
Kemarin, ragamu adalah sandaran paling nyaman bagi lebam yang hidup menyesakkan.
Kemarin, ragamu adalah terapi kehidupan disaat aku begitu monoton dalam sakit yang tak sepantasnya.
Dan kemarin, engkau raga dari segala tubuh dimana rindu hanya menuju satu. Puannya. Sekarang, apalagi ragamu, sehempas angin yang tak lagi dapat kupeluk saat sakit atas rindu terlalu keterlaluannya, tak lagi dapat ku ciumi aroma tubuhnya yang merebah bagai racun dalam darah, sehingga segalanya hanyalah kamu ditubuhku.
Padahal kemarin, ragamu masih sanggup disentuh manjanya aku.
Kemarin, ragamu adalah sandaran paling nyaman bagi lebam yang hidup menyesakkan.
Kemarin, ragamu adalah terapi kehidupan disaat aku begitu monoton dalam sakit yang tak sepantasnya.
Dan kemarin, engkau raga dari segala tubuh dimana rindu hanya menuju satu. Puannya. Sekarang, apalagi ragamu, sehempas angin yang tak lagi dapat kupeluk saat sakit atas rindu terlalu keterlaluannya, tak lagi dapat ku ciumi aroma tubuhnya yang merebah bagai racun dalam darah, sehingga segalanya hanyalah kamu ditubuhku.
Sore itu,
aku seperti raja dalam permainan caturmu. Kau buat skakmat. Aku tak tahu harus
bagaimana, aku telah jatuh. Jujur aku tak sanggup merelakanmu pergi, hatiku ada
disana, bersamamu.
Bukannya aku tak mengerti, tapi memang mengawali ikhlas harus dimulai dari hati, sementara itu hatiku tak sengaja kau bawa lari, pahamilah. Aku tak sanggup hidup tanpa hati.
Bukannya aku tak mengerti, tapi memang mengawali ikhlas harus dimulai dari hati, sementara itu hatiku tak sengaja kau bawa lari, pahamilah. Aku tak sanggup hidup tanpa hati.
Sore itu,
apa yang bisa kutampakkan dihadapanmu selain sebuah kepura – puraan ? Tak ada.
Mataku enggan membuka sebab aku tahu, akan ada basah yang tak lagi dapat dibendung mataku dengan melihat setapak demi setapak suatu perpisahan denganmu. Menatapmu aku tak yakin sanggup, Puan.
Kau lihat senyum itu ? Di wajahku ? Hanya agar kamu tak mengira – ngira aku luka.
Biar, sekalipun kamu ku tahan, akhirnya akan meninggalkan juga—kan.
Mataku enggan membuka sebab aku tahu, akan ada basah yang tak lagi dapat dibendung mataku dengan melihat setapak demi setapak suatu perpisahan denganmu. Menatapmu aku tak yakin sanggup, Puan.
Kau lihat senyum itu ? Di wajahku ? Hanya agar kamu tak mengira – ngira aku luka.
Biar, sekalipun kamu ku tahan, akhirnya akan meninggalkan juga—kan.
Sekalipun aku
ingat betul, katamu “aku tidak pergi untuk
meninggalkan, apalagi menjauhimu, sayang. Aku pasti pulang”. Walau begitu
apa yang kau sisakan untuk ku nikmati sekarang ? Kesendirian, bukan.
Dengar, aku
tak yakin sanggup menjalani hubungan jarak jauh dengan waktu yang cukup lama,
sekalipun iya, aku harus cukup kuat untuk membangun hati yang tabah.
“berbaliklah, lalu pergi”. Aku hanya tak ingin kau sempat melihat diam yang tak mampu dijelaskan; tangisku. Supaya kau ingat, kutinggalkan pelukan. Kelak ketika kamu jatuhkan rindu di tanah dahulu, kenanglah aku; gigil yang masih perlu hangat --- kamu.
“berbaliklah, lalu pergi”. Aku hanya tak ingin kau sempat melihat diam yang tak mampu dijelaskan; tangisku. Supaya kau ingat, kutinggalkan pelukan. Kelak ketika kamu jatuhkan rindu di tanah dahulu, kenanglah aku; gigil yang masih perlu hangat --- kamu.
Dan sore itu
aku sadar, meskipun ribuan tangis ku jatuhkan, ratusan mohon ku lantunkan, kamu
tak akan tetap tinggal. Kemudian hari aku hanya percaya , jika memang dirimulah
apa yang selalu kupinta dalam semoga pasti Tuhan akan menjadikannya, namun jika
tidak, tetap terbilang “Jodoh ada ditangan-Nya”.
Hidup berarti Mati
Aku mencintaimu