16 Agustus 2015 1 komentar

Salahkah Aku Merindukanmu

Kemarin, tentangmu hanyalah kata tanpa makna. Diksi yang tak ingin ku pilih sebagai pelengkap bait puisi yang kehilangan arti. Namun begitu, sepertinya pengabaian mulai tak lagi cocok disandingkan denganmu, debar dan rasa ke ingin tahuan muncul menjadi beberapa pertanyaan kecil tentang rindu yang mungkin tidak seharusnya, akan tetapi masa iya merindukanmu adalah suatu kesalahan.

Siapa sangka, perasaan jatuh seperti suka bisa menuju kepada pelukan siapa saja, dengan atau tanpa sengaja. Sama halnya sepertimu, tuan. Bahkan awalnya aku tak mengenal siapa kamu, namun namamu selalu ditemukan mataku dengan tidak sengaja di beranda pemberitahuan. Masa bodo, ialah pikiran awal perihal berita – berita yang selalu saja kamu tuliskan, menarik atau tidak tetap saja membangunkan tanggapan – tanggapan untuk mengabaikan.

Sampai pada percakapan pertama kita, dimana terpampang sebagian bahasa yang aku suka di display picturemu, mau tidak mau aku harus singgah pertama kalinya untuk bertanya serta menyudahi segala rasa penasaran. Dan entah bagaimana kita bisa sampai bertukar nama masing – masing saat itu. Mengenalmu tidak sama sekali aku merasakan kata asing didalamnya. Pertanyaan – pertanyaan selalu tercetak dalam pikiranku tanpa harus lebih dulu berfikir keras untuk mendapatkannya dan ingin selalu aku serahkan kepadamu, agar percakapan kita tak berhenti sebatas keperluan saja.

Entah sebenarnya aku ini kenapa, kehilangan kabarmu sesekali bisa membuat debar tak karuan berkali – kali. Nampaknya aku mulai menikmati perbincangan – perbincangan kecil kita, terlalu nyaman denganmu membuat aku lupa bahwa dulu aku pernah begitu tak perdulinya perihal kamu. Dan sekarang sedikitpun acuh, aku tak bisa. Aku takut menganggap segala kegetiran terhadapmu adalah rindu, sebab perkenalan kita masih terlalu dini. Tapi mau dikata apa, memang begitu adanya. Tak perlu waktu lama perihal perasaan bisa sangat cepat tumbuh begitu saja, seperti sekarang pelukanmu aku butuhkan untuk meyakinkan ketakutan dan menenangkan rindu yang keterlaluan.

Aku juga tidak menyangka, rindu bisa secepat itu menuju kepulangan – kamu. Judul yang kerap kali ingin  aku tuangkan kedalam sebentuk puisi ketakutan, supaya kamu paham setiap perjumpaan juga akan kembali kepada kehilangan. Ketahuilah sayang, caramu terlalu klasik bagiku tapi aku tak bisa berbohong bahwa aku terikat kuat didalamnya untuk tetap setia menikmati segala kesederhanaanmu hingga pada akhirnya tinggal tersisa satu degup gigil yang ingin dihangatkan oleh kehadiranmu.


Seandainya, jika memang salah merindukanmu, aku akan berhenti dengan sangat. Aku berusaha untuk tidak lagi jatuh kedalam zona nyamanmu, aku akan gigih bertahan dengan ketabahan perihal rindu yang juga ingin dituntaskan pertemuan, pun sebentuk debar kekhawatiran akan terus ku coba yakinkan bahwa semuanya akan baik – baik saja, dengan atau tanpa tuannya.
0 komentar

Entah Harus Bagaimana

Rembulan dan anak – anak bintang beberapa perkara langit yang tak ingin dilupakan tatap mataku begitu saja, malam itu. Sepi dan gigil pertanyaan yang ingin segera dihangatkan rebah bersamaku menghadap ke arah rasi yang belum tersusun rapih dipelataran rumah kala itu. Entah harus bagaimana, aku menanggapi anggapan – anggapanmu dimana hanya terisi ke-sialan dan ketidak benaran.

Ketika aku baru saja sekedar ingin menghabiskan perbincangan dengan langit, berbincang tentangmu dimana ku ceritakan habis – habisan di hadapan rembulan yang ku tatap penuh kebahagiaan dan beribu keinginan, menyamakanmu dengan para bintang dikelap malam, bersinar tanpa ragu meski hanya terlihat seperti setitik tinta dilembaran tugas tak bernama. Tak kusangka, persekian menit segalanya berubah ketika kubaca balasan pesan singkat darimu, perasaanku bagai kau remas seseorang yang kau benci, ingin kau hancurkan tanpa sisa, tanpa sia – sia.

Rasi – rasi hampir tersusun rapih, membentuk wajahmu yang ku ingat dalam ruang bernama ingatan kini mulai pudar perlahan tanpa ingin lagi disatukan. Ternyata dugaanku salah, perihal prasangka – prasangka buruk yang enggan kau ajukan kepadaku hanya untuk menunjukkan siapa yang paling benar ternyata juga kamu permasalahkan dimeja sidang kehancuran tanpa pengadil keputusan juga tanpa banding yang dapat aku sampaikan. Sungguh, degup tak lagi karuan hingga denyutnya tidak lagi mampu diterka urat nadiku, apakah itu perasaan malu – malu ataukah perasaan rindu, jelas bukan keduanya -- kan. Tapi bagaimana, aku bisa apa ? Itu sudah pilihanmu, menyangka aku hanya sekedar berasal dari perkataan orang lain melainkan bukan kenyataan yang kamu ketahui benar – benar tentangku.

Memang, aku tempat paling baik untuk semua perihal buruk yang  terbang keluar dari bibirmu, anggapan – anggapan apapun rasanya layak digelarkan kepadaku. Enak tak enak, suka tidak suka, semuanya harus ku telan sendirian, dalam – dalam. Pahit memang dikira yang bukan – bukan sementara tak sesuai keadaannya. Lantas apalagi, ingin marahpun untuk apa, percuma. Diam, mungkin pilihan paling baik. Terlalu berlebihan jika itu ku anggap luka, sekedar kecewa mungkin iya sebab dugaanmu tak kau pikir matang – matang lebih dulu sebelum akhirnya jadi kesalahan. Tapi ya sudahlah terserah maumu.


Aku akan lebih diam jika lain kali kamu beranggapan demikian, lagi. Aku akan lebih masa bodo dengan prasangka – prasangka yang pada faktanya itu bukan aku. Jangan buat aku bingung harus bagaimana bersikap kepadamu setelah itu, tapi cobalah sedikit mengerti aku juga butuh dipahami dari pada sekedar kau nyatakan demikian tapi tanpa bukti yang dapat kamu perlihatkan.
8 Juli 2015 0 komentar

Aku Begitu Karena Rindu

Segala kecemasan selalu mampir di waktu paling aku tidak suka, ketika aku mulai nyaman dengan hal – hal kecil yang kamu buat mulai berbeda ketika tak kau izinkan mengetahui kabarmu, aku sadar bahwa sakit ini memang sudah seharusnya. Maaf jika itu juga memposisikanmu ketempat paling tidak nyaman, aku begitu karena rindu.

Malam itu tak banyak yang ku ingat selain gelisah dan getir. Perihal apa saja layaknya tak pantas memenuhi semestaku kala itu tak terkecuali tiga kata terakhir pada kalimat pertama dalam paragraf kedua. Gelisah dan getir, adalah kata sifat sebagai sikap protes kenapa tak sama sekali aku kau beri berita tentang keadaanmu, pada akhirnya mungkin diamlah kata kerja paling baik yang aku gunakan.

Jika rindu pulang, selalu seperti itu membawa resah sebagai temen paling akrab untuk berbincang. Wajar saja jika banyak kamu baca persoalan tak enak yang sengaja aku tulis sebagai bentuk puisi patah hati atas emosi dimana bibirku sudah bisu – tak lagi sanggup menafsirkan ketakutannya.

Rindu memang begitu, malu – malu. Sebab itu, jika kau tanya kenapa, aku akan berbicara seakan semuanya baik – baik saja dan berpura – pura kalau aku baik – baik saja; tak sedang sakit hati. Aku tersenyum supaya kau tak terus menyalahkan dirimu sendiri pada apa yang menimpaku, ini bukan salahmu, ini tentang jarak dan kesabaran. Seandainya rasa rindu berbanding lurus dengan tingkat pertemuan, mungkin akan banyak manusia yang tak lagi kebingungan mengurus satu kegetiran. Itulah kenapa bagiku rindu iyalah kata paling ironis ketimbang teman makan teman.

Maaf harus merepotkanmu untuk datang dan mengomentari apa yang tidak sesuai. Maaf, kata ironis ini membuat kamu harus berubah bukan menjadi dirimu sendiri. Jangan membohongi diri hanya agar aku tertawa, itu sama saja kau bohongi aku dengan cara halus tapi lebih sakit rasanya dibanding kau berkata jujur bahwa kau tidak mencintaiku. Kehadiranmu sudah cukup sebagai alasan senyumku, tak perlu aneh – aneh. Tidak usah menjadi mentari jika kau hanya sanggup jadi pelangi, biar aku yang menjadi sebait hujan lalu menyisahkan genangan – genangan dan Tuhan dengan kuasa-Nya membiaskan aku dengan cahaya mentari agar keanggunanmu kokoh dilangit biru. Gampangnya, tidak usah repot menjadi yang terbaik tapi jadilah yang satu – satunya.


Puan, bila caraku salah merindukanmu, tolong jangan salahkan rindu itu, salahkan saja aku yang terus merindukanmu berulang – ulang. Seandainya itu membuatmu tak nyaman, aku minta maaf. Satu hal lagi, maaf aku tak pernah izin menyebutkanmu berkali – kali dihadapan-Nya itu karena degup tak pernah menjadi lebih tenang sebelum pertemuan.
0 komentar

Masih Aminku Yang Paling Kencang

Pagi ini apapun kebaikan tentangmu, di hadapan Tuhan masih aminku yang paling lantang. Tentangmu; puan dengan segala keanggunan yang engkau hijabkan. Wanita yang masih memiliki hutang kepastian pada seseorang dengan harapannya masih jauh dari kata tercapai.

Sungguh aku terkejut dimulai ketika aku membuka mata dari rasa lelah dan kantuk semalam, seberkas catatan sudah siap di perbincangkan pagi ini di ruang ingatan tanpa memberi ancang – ancang untuk aku persiapkan, segala opsi yang timbul dari setiap pemikiran sudah matang diperdebatkan; perasaan. Namun tidak pernah sebanding dengan jawabannya.

Segala pertanyaan yang kutulis dari tinta waktu masih begitu pekat di lembaran tugas, tentangmu. Pertanyaan – pertanyaan sederhana perihal siapa sebenarnya aku bagimu yang masih harus tetap kau jawab dengan baik. Katamu saat aku tanya masalah karangan kata itu untuk siapa, tujuannya bukan aku kan. Bercanda atau bukan, mendengarnya cukup miris ketika itu berbanding terbalik dengan kelakuanmu terhadapku. Tapi sudahlah, membahasnya hanya akan membuat keyakinanku surut. Keyakinan yang aku sebut sebagai alasan mengapa bisa sedemikian aku mengagumimu. Apapun anggapanmu tentangku, sungguh tidak sedikitpun alasan itu hilang.

Puan, engkau ialah pilihan yang disetujui setiap keinginan. sebab selalu patut dibahas pikiran juga perasaan. Dan dari setiap pembahasan maka setiap hari  pula aku harus menghadapi kegelisahan ketika tak kamu izinkan aku mengetahui kabarmu, namun begitu aku percaya doa – doa akan tetap lebih baik memelukmu dari hal – hal yang tak ku inginkan kedatangannya.

Kamu, wanita berkerudung, apapun hari ini aku bagimu, bagaimanapun hari ini aku padamu, aku hanya akan tetap berusaha untuk memantaskan diri dan bukan berpura – pura sebagai orang yang pantas dikagumi, aku hanya akan tetap seperti itu bertahan dengan segala alasan meskipun penjelasan yang aku dapatkan tidak sesuai dengan apa yang aku tanyakan. Baik – baiklah jangan selalu membuat seseorang khawatir berlebihan, serta kebaikan apa saja yang menjadi doamu, aminku tetap yang paling lantang.


 
;