25 Desember 2013 0 komentar

Aku Juga Punya Air Mata

Hai, kamu yang menolehkan manismu.Tak lelah memang menyipu kepedulianmu pada aku yang memperhatikanmu, aku yang benar -  benar menyayangimu juga aku yang sungguh - sungguh mencintaimu. Hmm ya, pedulimu tak seperdulinya milikku, pun  perhatianmu tak sebebas bergerak seperti bebasnya bola bola mataku yang jeli memperhatikanmu.

Cinta memang bukan suatu paksaan, siapa yang mampu menarik simpul senyumnya adalah dia yang sejatinya mendapat perhatian, juga cinta merupakan pemain, dimana satu orang dapat bertindak dua muka. Sejatinya bagai kamu. Dimana saat aku bertahan untuk merelakan nafsu yang sebenarnya tertanam, nyatanya kamu malah bersuka ria tanpa pernah melihat kesudut sisi yang lain, sisi yang lirih, gigih bertahan meski nyatanya terasingkan; aku. Entah masih layakkah kamu jika kubilang memiliki perasaan, jika tamparan pedih terus kamu sarangkan, padaku. Seseorang yang dengan tulus hatinya mengikis demi sorak sorai ombak lautan yang bergembira . Coba, liriklah sejenak mataku ini, tetesannya memang bukan seperti embun yang sejuk, tapi jika kamu pandang dengan hati, kamu akan tahu betapa lirihnya aku, sebab akupun juga punya air mata, bukan berpura - pura hanya semata mata mengungkapkan luka yang benar - benar dalam, luka yang tak lagi sanggup aku utarakan.

Ah percuma !! Kuceritakan, syair pun tak kau dengar, apalagi kalimat kalimat penjelas ini, mungkin kau bagaikan orang bodoh sedang belajar menulis kalimat. Bila kau dengarkan sesaknya nafas yang kuhirup, batin yang tertekan, itu hanya kuanggap cobaan untuk tetap sabar. Tak lelah memang ? Hatiku kau ciderai sedemikian halusnya, menyayat sedemikian fokusnya hingga akhirnya terbentuk lara, hem begitu ??

Lihatlah, perhatian yang kau abaikan terbungkuk layu, tak pernah kau siram dengan balas perhatian. Sayang, liriklah mana mata yang menangis karna benar - benar tulus mencintai namun tetap tegar meski dilukai, dengan yang menangis karna perlu diperhati tanpa ada perasaan cinta - di hati.
Haha, apa iya kamu mendengarkan saranku, sedangkan aku saja tak lagi kamu gubris bicaranya.

Seandainya saja kamu dihadapanku, mungkin kupukul habis kamu, supaya tau sakitnya bagiamana, meski tak sama sakitnya dengan yang kualami, tapi aku puas, setidaknya aku sedikit mengajarimu, mengajari agar kamu tak lagi menyakiti seseorang yang berupaya dengan keras mendapatkan kembali perhatian yang dulu hanya tertuju pada satu insan; aku. Bila memang kasih, perhatian juga segala rasaku pernah luput, aku minta maaf. Semuanya bukan kubuat buat, memang inilah aku manusia yang tak sempurna, yang dekat dengan kesalahan.

Tuhan bersamaan luka - luka dan doa serta isak air mata, aku mengaminkan duka sebagai satu suka yang nantinya Engkau jabah menjadi nyata. Dan semoga aku lekas sadar, bahwa mata mataku ini tak perlu lagi terhias rinaian air mata. Karna sayang, diapun tak tahu itu jatuh karna dan untuknya.


Teruntuk bintang yang bekedip diatas kelabu,
dukaku bersemayam menyirat lengkungan sabar
dalam rembulan.
18 Desember 2013 0 komentar

Tawamu Diatas Cemburuku

23:23 dimana kutulis ini, rasa yang kutahan ketika aku tak lagi sanggup, tak lagi kuat mengungkapkan. Dimana ku rangkai kalimat kalimat pernyataan atas hati yang gugur perlahan. Dimana aku terdiam mengusap tangis yang kau sematkan.

Sudah larut malam, jika tanyamu kenapa aku belum terlelap tidur, jawabku "aku hanya terus terpikir bahwa sanggupkah aku bila harus tanpamu, sanggupkah aku jika nyatanya tawamu tak lagi hadir sebab candaan yang biasa aku lontarkan padamu, melainkan darinya sosok yang mulai kau kagumi". Ah tak taulah !! segalanya buat aku resah, rasanya ingin aku bunuh hati agar tak lagi ada perasaan sesak, agar tak lagi ada perasaan rindu, pun agar tak lagi ada kamu yang sampai detik ini ku kurung dalam sudut kecil - hati.

Bukankah sama perkara - perkara sebelumnya dengan kali ini, mengapa ??
Mengapa kamu enggan melirik matamu keujung atap tempat yang kudiami; rumah. Tempat dimana aku tepat merasakan pedih, lirih malam ini.
Haha lucu memang memintamu mengerti , perihalnya prinsipmu adalah aku yang seharusnya mengerti kamu, maka salahlah aku. Jika saja raga takan mati bila ku ajak pergi hati keluar rumahnya, berjalan menghampiri sorot mata yang melihat tapi buta. Menjelaskan betapa hitamnya ia (hati) karna terlalu lama megendapkan asap pedih, asap hasil hirupan sesak atas jeritan mata kepala yang tak sanggup bicara, jelas !
Dari mata turun ke hati, bukan tentang cinta tapi tawamu yang tersebar disana sini dalam wilayah cumbuku.

Memang dalam jejaring sosial itu hanya beberapa kalimat obrolan yang muncul antara kamu dengan dia, dia yang sejatinya juga mampu menumbuhkan suka lewat kebiasaan. Menurutmu tak seberapa banyak namun mataku melihat segalanya terjadi dalam hitungan menit, hitungan yang kala itu juga kamu tidak tahu hati juga mata yang berkaca - kaca menahan rasa sesak di dada yang kau tinggalkan, rasa cemburu bergelora, menyemarakkan sakit mulai meronta - ronta.

Beruntungnya dia yang kini mendapat senyummu, sedang aku disini, berusaha menipiskan tebalnya lara.

Begitu tololnya aku,
mengikuti aliran arus yang begitu tenang seakan takkan terjadi apa - apa, padahal terjangan ombak deras ada didepan muara, bukan berujung lautan tapi jurang.
Dengannya kamu tertawa, tak apa. Akan kucoba kuat walau nyatanya aku tak mampu menahan segala cemburu. Kasih, andaikan saja hati Tuhan beri kemampuan bicara, akan kubiarkan ia memarahimu dengan segala nasihatnya akan kubiarkan dia mengungkapkan sejujurnya "aku yang benar benar mencintaimu dengan tulus, dengan memanglingkan wajah pula hati dari yang lainnya, dari yang sebenarnya melebihimu", juga kubiarkan dia menangis sekencang kencangnya agar kamu tahu betapa iya begitu terpukul saat ruang hati lainnya lupa ketika kamu tertawa dengannya juga meninggalkan luka disisi lainnya (aku) dan kala hati yang dicintainya (kamu) perlahan pergi dan mulai cekikikan diatas cemburu - ku.

Semua akan meminta pada Tuhan bertukar raga supaya satu sama lainnya tahu bagimana sakitnya cemburu, menahan rasa yang tak sanggup diungkapkan, dengan harapan kemudian ia tak lagi mengulang dan menghargai perasaan, namun tidaklah begitu nyatanya, derai air mata menjadi pilihan atas bibir yang terbungkam kaku; membisu, membeku menahan seribu kata.

Kini aku hanyalah paham, saat orang yang aku cintai tak lagi menghargai sabar, maka cukupkanlah. Selanjutnya serahkan pada Yang Esa. Biar, biarkan Dia memasangkan kita dengan yang baik, dengan yang menghargai juga memahami hati.



Pada malam yang menghanyutkan perasaan
biarkan bintang pula bulan bersinar terang
menerangi hati - hati yang redup. 
 
;