13 Januari 2014 0 komentar

Untuk Kita, akan Kuperjuangkan Meski Sendirian



Inilah aku sebenarnya, si humoris yang bisu. Yang hanya mampu menyuarakan keluhnya kedalam abjad, bukan tak lagi mampu, tapi lekuk bibir ini tersendat oleh sesak hingga setiap ejaan bahasa tak lagi sanggup ku ucapkan.

Lagi lagi malam menjadi sahabat paling setia, menjadi pendengar paling baik, juga menjadi tempat paling nikmat untuk melampiaskan noda noda lara bekas kita, sebab setiap kita yang kupercaya berisikan dua orang kini kulihat hanya seorang saja dan tak lain itu hanya aku. Kadang aku benar - benar lelah menjalaninya, namun entah karna apa, rasanya aku tega untuk menyayat habis hatiku sendiri hanya untuk omong kosong belaka tentang aku dan kamu adalah kita.

Hah, gegara kamu sesampai larut malam begini aku masih berteman baik dengan bintang, bagaimana tidak, aku terus memikirkan perjalanan hubungan yang tak jelas statusnya, tapi itu tak masalah bagiku. Untuk kita, akan kuperjuangkan meski sendirian, walaupun berat setidaknya aku membuktikan kesungguhan didalamnya. Lantas bagaimana denganmu ? Apa kamu juga membiarkan hatimu terluka sebagai bukti kamu adalah bagian dari kita ? Bahwa sebagai bukti kamu juga memperjuangkannya ?

Hei sayang, semua orangpun tahu aku hanyalah manusia biasa, manusia yang jauh dari kata sempurna. Justru itu aku butuh kamu, sebagai pelengkap yang nantinya menutup lubang - lubang kekuranganku juga begitupun aku nantinya sama sepertimu, pula aku butuh kamu bukan sekedar pelengkap namun juga sebagai teman dimana setiap harinya kamu akan tau sifatku sebenarnya, memahami bagaimana menjengkelkannya aku, merasakan pahitnya ada didekatku, pun menikmati manisnya saat kamu tau aku mampu membuat gelak tawa, sebagai sahabat yang kelak mampu mendengarkan hal hal bosan yang ku ceritakan dengan baik, sebagai pendamping  yang paling setia ketika nanti aku hanya merebahkan layunya sekujur tubuhku, mendengarkan doa - doa yang kamu bacakan, dan merawatku sampai nantinya aku hanya sanggup memandangmu dari alam yang berbeda. Tapi apa kamu bisa

Segala pintaku, kubiarkan bebas berterbangan sebanyak banyaknya bersamaan alunan doa disetiap sujudku agar nanti sampai pada Tuhan, hingga Dia berkata cukup atas usaha usahaku kemudian menjabahkan anehnya permintaanku. Betapa tidak aneh, aku meminta agar dipersatukan padamu yang entah peduli atau tidak terhadap kita. Aku meminta supaya mendekatkan bahagaiaku; kamu, meski sebenarnya mataku berbohong pada hati bahwa sedianya aku terluka. Semuanya tentang sakit hati juga kubincangkan pada pemilik semesta, kelak nanti aku terbiasa juga ikhlas menghadapi pahitnya bersamamu pula sujud syukur ku akan ku hadirkan ketika kamu mulai disadarkan atas aku yang berjuang untuk kebahagiaan kita, serta aku tak lagi dekat dekat dengan luka karna kamu sendiri yang mengusir jauh dari mata juga hatiku.

Kuharap, kamu membaca ini. Sakitnya aku yang lelah menahan kita yang hampir runtuh. Semoga saja kamu cepat tersadarkan dan lekas membantuku untuk meneguhkan kita, supaya nanti kita bahagia, kelak nanti kita menciptakan mata air bukan air mata. Sayang, dengarkan, dasarnya bahagia memang perlu terluka, kini aku jalankan. Dan kini aku juga mengaharapkan kita bukan lagi hanya aku tapi juga ada kamu yang berjuang mati - matian saat Tuhan menitipkan cobaannya pada kita, dan aku tau saat itu terjadi apa yang sebaiknya kita lakukan - menghadapinya bersama dengan senyuman.

0 komentar

Aku Rindu Kita yang Dulu




Bagaimana waktu, masih dapat diputar kembali kemasa lalu ? Bagaimana kita sekarang, sepolos dahulu ? lalu bagaimana perjuangan kita sekarang ? Apa sehebat saat kita saling mencoba tidak menitik beratkan gelisah dengan mengabari, apa sehebat saat kita mencoba menahan malu saat bertatapan, apa sehebat saat kita mencoba berhubungan dekat, juga apa sehebat saat kita menahan rindu yang meronta meminta temu ? Dan terakhir, apa saat itu adalah kita ? Ya aku dan kamu ?! Atau hanya aku yang ada dalam "saat" itu.

Waktu itu, satu tahun lalu kita yang masih dalam keadaan malu malu untuk bertemu, malu malu untuk berbicara secara langsung pula semudahnya hai-pun kita masih sulit menggemakannya, karna kita yang dahulu adalah yang berani menyapa dalam tempurung tanpa pernah begitu berani menolehkan kata pada sepasang lirikan mata. Dulu, kita yang mengharapkan temu yang begitu sulitnya karna memang tak ada waktu untuk itu, kini ketika waktu itu hadir dipersimpangan sibukmu nyatanya sering disia - siakan. Dulu, bibir bibir kita yang begitu inginnya untuk saling sapa, saling berupaya untuk menghentakan kalimat - kalimat yang bersautan, mencoba menyisipkan tawa disamping obrolan kita, sekarang, saat segalanya terjadi, hanya diam yang kita andalkan. Sebegitunya kita sekarang berbeda dengan dulu.

Aku masih ingat pertama kali dimana aku hanya mampu memandang pesonamu dari kejauhan,dari sudut pandang jendela yang kututup rapat rapat agar kau tak tau gelagatmu sedang kuperhatikan, tawamu menghipnotis bibirku untuk tersenyum juga, betapa begitu elegannya kamu saat tertawa. Terlebih lagi, aku sangat ingat kelak aku yang mengharapkan duduk disampingmu dalam peraduan rasa yang dibubuhi malu malu, memberanikan diri meyapamu lebih dulu, dan saat Yang Kuasa menjadikannya nyata, kita hanya terpaku diam pada ukiran kayu sekolah yang kita tumpangi, karna begitu ragunya aku yang gemetar bersebelahan dengan seseorang yang mengambil perhatian juga perasaan secara sederhana, perlahan namun mematikan. Ingatan ini yang kurinduan, dimana dahulu kita begitu polosnya, begitu kakunya dalam memenuhi keinginan - perjumpaan.

Saat aku begitu rindunya denganmu, yang kulakukan hanya membaca percakapan kita disetiap malam, betapa ada banyak kelucuan tertinggal disana, mampu sekejap membelalakan tawa, pula sejenak menghentikannya dengan sunyi kemudian meninggalkan rinai air mata. Rindu bisakah perlahan saja menombak hatiku, runcingmu lancip sanggup seketika mengucurkan luka didada - ku, maka dari itu bisakah kamu tak lagi egois menumpukkan rindu padaku dan membiarkannya terpikul sendiri pada punggung yang haus perjumpaan, pun mengikhlaskan pertemuan menjadi satu kegiatan disela - sela kesibukan disetiap harinya bagi kita ?

Aku pernah menangis seketika saat kubaca ketakutanmu yang kau tulis pada lembaran kertas bertintakan hitam, dahulu kau tujukan itu padaku dengan perantara seseorang yang kini kau cemburui kehadirannya. Mataku merintih sedih melihat bait - bait aksaramu terutama kalimat terakhirmu, rasanya ingin kudekap kamu seerat - eratnya sambil kuyakinkan kamu bahwa sejauh apapun aku, dimana pun aku, kamu akan merasa dekat denganku, jika saja kau lirik kedalam hatimu. Begitulah pula caraku, meyakinkan hati walau kadang merasa benci dengan jarak yang begitu bajingannya menghambat indah yang kita dambakan, namun meski demikian, jika kita percaya aku yakin segalanya dapat teratasi. Saat ini, aku tak lagi mampu melihat setiap bait perkataanmu tersimpan ketakutanmu.

Katamu "jangan bandingkan aku dengan orang lain, lebih baik bandingkan saja aku dengan diriku sendiri". Seperti itu, baik. Kamu yang dulu kukenal sebagai pejuang, bukan dalam peperangan, tapi bagimana kamu berusaha mengabari aku, membuat percaya aku akan suatu hal bahwa kamu takan pernah bosan bersama sosok yang kau yakini mampu membuatmu merasa spesial; aku. Sebelumnya. Dan sekarang tak lagi ada kamu sebagai pejuang, yang ada mantan pejuang. Begitukah ? Saat itu, sebelum aku mulai bermimpi, diujung pembicaraan kita sering kali kamu sisipkan kata - kata yang membuat aku begitu luluh, begitu takut akan esok  tanpa kehadiranmu, begitu ingin hari - hariku nanti ialah waktu yang terhabiskan bersamamu.

Walaupun aku tahu perbedaan itu pasti akan ada seiring waktu, namun tidakah baiknya kita tetap menjadi dahulu, menjadi biasa tetapi amat dirindukan kehadirannya dari pada menjadi luar biasa namun tak mampu membuat segalanya menjadi hal hal nikmat yang dirindukan. Maaf jika aku menuntut terlalu banyak padamu, itu kulakukan semata - mata hanya karna aku tak lagi ingin seseorang yang kucintai terlalu jauh melangkah hingga ia lupa bahwasanya hal hal besar berawal dari hal hal kecil, sebab itu, sebaiknya; tetap jadilah mentari disenja hari yang tetap bersinar bagi penikmatnya namun ia tetap merendah diri, merendah hati.
5 Januari 2014 0 komentar

Jika Saja Sayang

Bukankah belum cukup lama kita saling tahu, saling kenal, juga saling terbahak pada setiap lelucon yang kamu buat buat, selama itu pula kamu menggoyahkan perasaan mati pada latar depan rumahku; hati - Dik. Ah maaf kau kusebut dik sebab Tuhan tak hanya membedakan jenis kita, tapi juga dia membedakan usia kita. Aku benci hal ini, segalanya  jadi berantakan, sayang yang mulai kau tata rapih kini luluh lantah karnanya, usia.

Aku tak cukup banyak menghabiskan waktu denganmu, bahkan sebut saja tiada kala untuk kita jumpa, bertatap wajah langsung hingga menyipukan malu pada diri kita, pada ragamu juga ragaku. "hai manis, tolong jangan usangkan anganku untuk bersamamu, menghitamkan yang putih, memendungkan yang cerah" bibirku berbicara pada kejinya cermin. Hah, beruntungnya aku, hari itu, kala kamu kenakan seragam pendidikanmu juga hal yang sama kulakukan, perasaan ini kamu buat tak karuan, gemetar, bibirku terbata untuk menjawab pertanyaanmu, "kak  boleh minta  nomer hpnya ga ?"sebatas itu katamu mampu melemaskan  aku yang sebelumnya memiliki denyut jantung  pada umumnya, namun setelahnya, sesudah perkataanmu itu merancukan detak detak normal menjadi semakin cepat. Enggan aku menyia nyiakan ini, kuberi secepatnya, hingga dipenghujung awal kenangan kamu tutup sapamu "makasih yah". Lagi kamu buat aku tak mampu berbicara hanya sebatas anggukan kepala yang sanggup kulakukan.

Dan lagi, upayamu, menyambut aku dengan kata kata sederhana pada pesan elektronik, sebut saja handphone. mungkin saat itu aku adalah manusia yang paling bahagia, betapa tidak, tak lama selang tutur kataku kau bungkan dalam manis, kamu hias habis wajahku dengan senyum ketika aku tatap layar handphone-ku, melihat gurauan pesanmu yang lucu. Begitu seterusnya sampai detik ini, sampai tumbuh bunga bunga sayang dikebun hati.

Hm, tapi aku takut, segala hal berantakan yang mulai kau susun rapih hanyalah kebohongan besar, gaya humorismu, elok tatapmu bukan kepastian akan aku menjadi milikmu pun kamu menjadi milikku, dik. Kamu tak pernah membincangkan tentang perasaanmu, padahal aku berulang ulang kali menyalakan tanda bahwa aku siap berdampingan dengan kamu. Iya kamu yang berambut hitam, kamu yang dengan alis tebal diatas bola matamu, juga kamu yang dengan pandangan mempesona, mengalihkan perhatianku dengan cepatnya. Pula aku takut mengartikan perhatianmu adalah cinta, aku takut membenarkan kata kata gombalmu itu sayangmu dan aku takut menetapkan pemahamanmu adalah bagian dari perhatianmu.

Kesekian kalinya, pandanganku melihat jelas rona wajahku sendiri dalam cermin, menyabarkan juga menyadarkan hati, hingga akupun memilik anggapan "mungkin baiknya kita hanya  berteman, melepas  ketidak jelasan atas segalanya, membiarkan perasaan ini memudar sebab jka kita punya kejelasan pun nantinya kita hanya terpisahkan oleh kehilangan yang tak lagi lama".
Seandainya saja aku adalah teman teman sebayamu , berumuran sama sepertimu, aku takan tega menyakiti hatiku sendiri, membanjiri pipi hanya dengan tangisan sia - sia dipenghujung malam, mengharpakan khayalan indah menjadi nyata.

Jika saja sayang, perbedaan itu tak hadir, betapa riang gembiranya aku dapat lebih lama memandangmu, memandangi lekuk wajahmu yang elok, menikmati lucunya celotehmu secara jelas, serta meniti kenangan bersama, namun segalanya palsu, kenangan yang rencananya akan kubuat denganmu kini tinggalah mimpi. Tapi setidaknya aku pernah bersama bahagiaku; kamu. meskipun aku tahu, bahagiaku tak benar benar berada padamu.

Terima kasih Tuhan atas segalanya, atas kehadirannya yang kau kehendaki tiba dikehidupanku, walau kadang ia membuat perih, namun tanpa pamrih ia juga melesatkan senyum yang terpampang padaku. kini sebaiknya, tak seharusnya aku yakinkan diri bahwa dia mencintaiku- juga, hanya karena dia bersikap manis padaku, kadang kita hanya sebuah pilihan ketika dia bosan
 
;