6 Juli 2014 0 komentar

Jodoh di Tangan Tuhan



Sore itu, sejam sebelum kepergianmu aku ingat kau memintaku agar kita bertemu sejenak. Sepintas goresan senyum dibuat oleh wajah ku, akhirnya sekian temu yang sering kita tunda dalam beberapa kesempatan tak lagi akan kubiarkan terlewatkan, sebab rindu sudah menjadi sesak, aku hanya ingin ia tenang ketika beberapa hal meningatkan tentang kamu, namun betapa aku tak menyangka pikirku tatapan rindu yang akan kita segerakan adalah perihal temu yang
telah lama menghujat batin, tapi nyatanya meski dengan lembut tutur katamu kau ucapkan padaku,
bertambah akrablah aku dengan sesak, sayang.

Kepergianmu terlalu cepat bagiku, bagaimana kamu begitu teganya meninggalkan ruang yang segalanya sudah terisi perihal kamu,
rindu yang telah lama bersedia menunggu, bersedia menikmati duka,
ikhlas dengan segala luka bukannya kau tata rapi justru sedemikian remuknya mendengar segala
kesaksian pahitmu.

Rasanya baru kemarin aku bertemu dan dengan cepat menepikan hati pada segala semoga yang kupanjatkan pada Tuhan dengan mewakilkan kamu sebagai jawabannya. Sungguh bodoh jka itu ku anggap mimpi, tapi memang seperti mimpi dalam kenyataannya.
Padahal kemarin, ragamu masih sanggup disentuh manjanya aku.
Kemarin, ragamu adalah sandaran paling nyaman bagi lebam yang hidup menyesakkan.
Kemarin, ragamu adalah terapi kehidupan disaat aku begitu monoton dalam sakit yang tak sepantasnya.
Dan kemarin, engkau raga dari segala tubuh dimana rindu hanya menuju satu. Puannya. Sekarang, apalagi ragamu, sehempas angin yang tak lagi dapat kupeluk saat sakit atas rindu terlalu keterlaluannya, tak lagi dapat ku ciumi aroma tubuhnya yang merebah  bagai racun dalam darah, sehingga segalanya hanyalah kamu ditubuhku.

Sore itu, aku seperti raja dalam permainan caturmu. Kau buat skakmat. Aku tak tahu harus bagaimana, aku telah jatuh. Jujur aku tak sanggup merelakanmu pergi, hatiku ada disana, bersamamu.
Bukannya aku tak mengerti, tapi memang mengawali ikhlas harus dimulai dari hati, sementara itu hatiku tak sengaja kau bawa lari, pahamilah. Aku tak sanggup hidup tanpa hati.

Sore itu, apa yang bisa kutampakkan dihadapanmu selain sebuah kepura – puraan ? Tak ada.
Mataku enggan membuka sebab aku tahu, akan ada basah yang tak lagi dapat dibendung mataku dengan melihat setapak demi setapak suatu perpisahan denganmu. Menatapmu aku tak yakin sanggup, Puan.
Kau lihat senyum itu ? Di wajahku ? Hanya agar kamu tak mengira – ngira aku luka.
Biar, sekalipun kamu ku tahan, akhirnya akan meninggalkan juga—kan.

Sekalipun aku ingat betul, katamu “aku tidak pergi untuk meninggalkan, apalagi menjauhimu, sayang. Aku pasti pulang”. Walau begitu apa yang kau sisakan untuk ku nikmati sekarang ? Kesendirian, bukan.

Dengar, aku tak yakin sanggup menjalani hubungan jarak jauh dengan waktu yang cukup lama, sekalipun iya, aku harus cukup kuat untuk membangun hati yang tabah.
“berbaliklah, lalu pergi”. Aku hanya tak ingin kau sempat melihat diam yang tak mampu dijelaskan; tangisku. Supaya kau ingat, kutinggalkan pelukan. Kelak ketika kamu jatuhkan rindu di tanah dahulu, kenanglah aku; gigil yang masih perlu hangat --- kamu.

Dan sore itu aku sadar, meskipun ribuan tangis ku jatuhkan, ratusan mohon ku lantunkan, kamu tak akan tetap tinggal. Kemudian hari aku hanya percaya , jika memang dirimulah apa yang selalu kupinta dalam semoga pasti Tuhan akan menjadikannya, namun jika tidak, tetap terbilang “Jodoh ada ditangan-Nya”.



Hidup berarti Mati
Aku mencintaimu
2 Mei 2014 0 komentar

Cause I Need You





Disini, di sudut kamarku yang gelap.
Tempat dimana aku biasa menyebut namamu sesudah shalat.
Namun aku lupa, kapan terakhir kali melakukan hal itu dimalam hari.
Ketika setiap orang tengah terjaga, menanti saat untuk memulai puasa sunnah.
Mungkin malam ini aku akan bercerita, tentang sebuah duka, karna menunggu lama.
Tentang sebuah harap, yang kerap kali tak dianggap.

Tuhan..
Jika aku mengganggunya, maka bahagiakan ia dengan yang selalu membuatnya lupa akan suatu hal tentang pribadiku, pribadi paling menjengkelkan baginya.

Sesuatu dan setiap kata - kata yang aku tulis dalam lembaran ini, adalah semua ungkapan yang sebenarnya selalu ku pendam.
Tinta ini tak merah, walau kenyataannya merah adalah warna kesukaanku.
Aku hanya tak ingin, kau menganggapku tak bahagia hanya karena sebuah tutur kalimat yang sengaja aku buat.

Sebelumnya..
Aku ingin meminta maaf, pada seorang Tuan yang selalu ku sebutkan namanya dalam doa tanpa seizinnya.
Sebelumnya..
Aku pun ingin meminta maaf, pada seorang Tuan yang selalu ku harapkan begitu berlebihannya.
Dan lagi, biarkan aku meminta maaf, pada seorang Tuan yang aku sayangi dengan begitu lancang.

Sebelumnya, diwaktu yang lalu..
aku tak pernah merasakan hal seperti ini.
Segumpal ketulusan,  menumpuk di perabaian -- hati.
Tiga hari semenjak ulang tahunmu, kamu begitu sering membuatku bahagia dengan memainkan kepercayaan diriku yang kamu atur sedemikian rupa agar laju hati juga pikirku mengatakan bahwa itu adalah sebuah harapan.
Jika hanya sekedar suka, tak mungkin aku sekhawatir ini.
Jika memang sekedar sayang, batinku takan takut merasa kehilangan.

Tapi, cobalah baca ini, hingga kebawah.

Aku bukan penulis handal, yang biasa kau kenal.
Aku hanyalah sekedar hamba Tuhan, yang biasa menghabiskan tinta dengan percuma.
Sepadannya, aku menganggap ini sebatas sayang, karena sebelumnya, tak pernah ada tulus yang begitu mendalam melebihi ini.
Aku begitu munafik, bersikap tak butuh kabarmu
Sebab terkadang aku sengaja membiarkan rabbana ku sedikit tersisihkan untuk nama yang selalu ku asingkan dalam pikiran.

Sampai pada saat aku melapangkan dada.
Tak lagi  memprioritaskanmu seperti yang sebelumnya.
Aku mulai belajar untuk tak meyakini diri dapat menghangatkanmu di tengah hujan ; nantinya.

Jika di penghujung malam ini, Tuhan izinkan aku menguatkan diri, untuk sebatas menuliskan kalimat dalam pesan dengan tinta hitam.
Maka, kalimat yang pertama kali kamu baca "Maaf atas kelancanganku, mencintaimu tanpa ragu. Dan itu, dulu !"

Cause i need you. If me still proud of you, sorry.


Teruntuk kamu, 24
24 Februari 2014 0 komentar

Justru Karena Aku Sayang




Tertanggal waktu diantara pagi dan akhir malam, aku mencoba menyampingkan diri dalam tabah, menjauhkan langkah dari yang kusebut kedekatan denganmu, dari sesuatu yang kuanggap kebahagiaan, darimu. Aku akan membiarkanmu seseorang yang aku cintai, menggugurkan segala yang pernah saling kita tetapkan – perasaan. Karena, kita tak saling sadar. Kamu tak sadar bahwa aku sudah membohongi kepercayaanmu, aku telah menghancurkan hatimu perlahan tanpa kausadari kebohonganku iyalah yang menjelma menjadi kejujuran, sebab aku tak yakin mengatakan perihal pahit tentangku kehadapan telingamu dan aku juga tak sadar, usiaku tinggal menghitung malam.

Tadinya, aku adalah si egois perihal kamu, tak ingin satupun hati lain terlalu dekat denganmu. Tadinya, aku adalah si pencemburu tentang tawamu, debar rasanya ingin mengobrak abrik seseorang yang sanggup membuatmu tertawa selain aku. Tadinya, sebelum aku menggubris sakit didada, aku sempat ingin, kelak kita akan bersama – sama bahagia, dan aku akan memperjuangkannya, aku akan memberikannya tanpa kau harus meminta, aku akan membahagiakanmu walau tanpa materi, cukup dengan cinta, aku sanggup menebar suka dirona wajahmu. Dan sekarang, aku sadar. Tak mungkin dengan kekuranganku, aku memilikimu seutuhnya, selamanya. Aku paham khayalan ini tidak akan menjadi nyata tanpa campur tangan materi.

Tentangku kamu hanya tau aku adalah seseorang yang terlihat baik – baik saja, aku orang humoris yang tak banyak gaya, aku seseorang yang kau percaya kata – katanya. Padalah, aku tak lebih dari seorang pendusta, pada kenyataannya saat ku bilang baik padamu, aku tak benar – benar baik. Tingkah humoris yang kuperlihatkan sekedar menutup perasaan sesal. Segalanya kulakukan sebab aku menyayangimu, jika saja kau tahu dirongga dadaku tersimpan sepenggal penyakit ganas, mungkin kamu sudah jauh pergi, karna siapa yang mau dengan seseorang yang umurnya tinggal menghitung malam.

Aku pernah merasa Tuhan tak adil, disaat yang lainnya bebas beraktifitas, aku hanya duduk diam memikirkan kematian yang tak lagi lama. Aku juga ingin merasa bebas sama seperti  yang lainnya, aku pula ingin merasakan bahagia denganmu tanpa terbelenggu waktu dan usia.

Di dinginnya malam aku pernah terpikir tentang kita, tentang aku dan kamu. Aku mulai harus mampu melepaskan keegoisan, merelakanmu tertawa dengan siapapun, serta aku mulai berupaya menabahkan hati dengan iringan doa, kelak; ketika kamu merindukanku namun terpisah oleh jarak yang tak lagi mampu didekatkan maka doakanlah aku setulus rindumu, biar saat itu pula kamu tak merasa terbebankan atas apa yang kamu hapakan tetapi tak bisa menjadi kenyataan pada akhirnya dan semoga akan ada pengganti yang akan mengatakan bahwa ia mencintaimu lebih baik dari pada nama yang tertulis dibatu nisan; namaku.

Maka ijinkan aku jujur dan berjanjilah saat kamu mendengarkan aku, kamu tak menumpahkan basah dimatamu, kamu tak memukulku dengan kecewa dilenganmu, juga kamu tak mencibirku atas lukamu. Biarkan kejujuran sebenarnya menjadi alasan mengapa aku berbohong padamu , sebab aku tak mungkin langsung mengatakan padamu bahwa aku divonis mengidap penyakit yang tipis harapannya untuk sembuh, karnanya sebelum aku terbungkus pakaian beserta tanah, aku ingin mellihat kamu bahagia dengan atau tanpaku sekalipun, melihatmu tertawa dan melihatmu ceria tanpa kamu harus tau sakitnya aku yang menderita.

Aku ingat kita pernah duduk berdua, diujung bangku dekat pohon rindang dengan disaksikan burung – burung gereja tua serta merta riuhnya rumpun yang digoyang angin. Seketika kamu buat aku tercengang mendengar perkataanmu yang mengatakan sayang padaku, disitu kamu sempat buat aku menyembunyikan air mata saat kamu bilang “Sayang, aku pengen kita saling terbuka. Kalo ada masalah apapun itu cerita ajayah”

Betapa tololnya aku membohongimu, berpura – pura baik tanpa sedikit gejala penyakit, belaku jujur tanpa sedikitpun memperlihatkan suatu kebohongan pahit. Seandainya saja kamu tahu, aku tak ingin membutamu menangis mendengarkan pernyataanku tentang semuanya, andai saja kamu tahu, disetiap harinya  aku merasa seperti tersiksa menelan begitu banyaknya pil penyembuh padahal semuanya hanya sia – sia, entah karna apa aku begitu percaya hidupku takan lagi lama didunia.

Walaupun, sebenarnya aku ini begitu ingin bersamamu, didekatmu, mendekap ketika kamu didera gigil, ketika kamu dihujankan masalah hingga menjadikan mendung dimatamu dan aku sudah siap dengan bahuku untuk menopang itu. Namun inilah hidup, tak segala hal yang kuinginkan menjadi sebuah kenyataan. Dengan penyakitku ini, berbahagialah dengan yang lainnya. Nanti kamu akan tahu saat aku mulai dihampiri ajal, segala yang kujujurkan padamu tak selamanya itu jujur, sikap baik – baikku tak semuanya itu benar – benar baik.

Saat ini yang ku tahu, kita hanyalah sepenggal harapan kecil, kamu mencintaiku dan akupun juga mencintaimu, tetapi takdir berkata lain, selamanya tak mungkin kita gapai. Tuhan rindu aku, Dia menitipkan sesuatu dirongga dadaku supaya aku selalu dekat dengan-Nya. Tak apa kamu tak tahu hal ini, karna aku tak ingin melihat sedih bercucuran dari bola  matamu. Sebab itu kubiarkan kamu lepas dari genggamku, berbahagialah dengan orang yang tepat, yang mencintaimu dengan ikhlas, yang sanggup membahagiakanmu sampai kelak kamu mempunyai turunan bahkan sampai diujung nafas kematian, dan sampai akhirnya kamu tau ini adalah harapanku dimasa depan, nanti; jika aku sehat, jika aku masih diberi waktu untuk tetap bersamamu.

13 Januari 2014 0 komentar

Untuk Kita, akan Kuperjuangkan Meski Sendirian



Inilah aku sebenarnya, si humoris yang bisu. Yang hanya mampu menyuarakan keluhnya kedalam abjad, bukan tak lagi mampu, tapi lekuk bibir ini tersendat oleh sesak hingga setiap ejaan bahasa tak lagi sanggup ku ucapkan.

Lagi lagi malam menjadi sahabat paling setia, menjadi pendengar paling baik, juga menjadi tempat paling nikmat untuk melampiaskan noda noda lara bekas kita, sebab setiap kita yang kupercaya berisikan dua orang kini kulihat hanya seorang saja dan tak lain itu hanya aku. Kadang aku benar - benar lelah menjalaninya, namun entah karna apa, rasanya aku tega untuk menyayat habis hatiku sendiri hanya untuk omong kosong belaka tentang aku dan kamu adalah kita.

Hah, gegara kamu sesampai larut malam begini aku masih berteman baik dengan bintang, bagaimana tidak, aku terus memikirkan perjalanan hubungan yang tak jelas statusnya, tapi itu tak masalah bagiku. Untuk kita, akan kuperjuangkan meski sendirian, walaupun berat setidaknya aku membuktikan kesungguhan didalamnya. Lantas bagaimana denganmu ? Apa kamu juga membiarkan hatimu terluka sebagai bukti kamu adalah bagian dari kita ? Bahwa sebagai bukti kamu juga memperjuangkannya ?

Hei sayang, semua orangpun tahu aku hanyalah manusia biasa, manusia yang jauh dari kata sempurna. Justru itu aku butuh kamu, sebagai pelengkap yang nantinya menutup lubang - lubang kekuranganku juga begitupun aku nantinya sama sepertimu, pula aku butuh kamu bukan sekedar pelengkap namun juga sebagai teman dimana setiap harinya kamu akan tau sifatku sebenarnya, memahami bagaimana menjengkelkannya aku, merasakan pahitnya ada didekatku, pun menikmati manisnya saat kamu tau aku mampu membuat gelak tawa, sebagai sahabat yang kelak mampu mendengarkan hal hal bosan yang ku ceritakan dengan baik, sebagai pendamping  yang paling setia ketika nanti aku hanya merebahkan layunya sekujur tubuhku, mendengarkan doa - doa yang kamu bacakan, dan merawatku sampai nantinya aku hanya sanggup memandangmu dari alam yang berbeda. Tapi apa kamu bisa

Segala pintaku, kubiarkan bebas berterbangan sebanyak banyaknya bersamaan alunan doa disetiap sujudku agar nanti sampai pada Tuhan, hingga Dia berkata cukup atas usaha usahaku kemudian menjabahkan anehnya permintaanku. Betapa tidak aneh, aku meminta agar dipersatukan padamu yang entah peduli atau tidak terhadap kita. Aku meminta supaya mendekatkan bahagaiaku; kamu, meski sebenarnya mataku berbohong pada hati bahwa sedianya aku terluka. Semuanya tentang sakit hati juga kubincangkan pada pemilik semesta, kelak nanti aku terbiasa juga ikhlas menghadapi pahitnya bersamamu pula sujud syukur ku akan ku hadirkan ketika kamu mulai disadarkan atas aku yang berjuang untuk kebahagiaan kita, serta aku tak lagi dekat dekat dengan luka karna kamu sendiri yang mengusir jauh dari mata juga hatiku.

Kuharap, kamu membaca ini. Sakitnya aku yang lelah menahan kita yang hampir runtuh. Semoga saja kamu cepat tersadarkan dan lekas membantuku untuk meneguhkan kita, supaya nanti kita bahagia, kelak nanti kita menciptakan mata air bukan air mata. Sayang, dengarkan, dasarnya bahagia memang perlu terluka, kini aku jalankan. Dan kini aku juga mengaharapkan kita bukan lagi hanya aku tapi juga ada kamu yang berjuang mati - matian saat Tuhan menitipkan cobaannya pada kita, dan aku tau saat itu terjadi apa yang sebaiknya kita lakukan - menghadapinya bersama dengan senyuman.

0 komentar

Aku Rindu Kita yang Dulu




Bagaimana waktu, masih dapat diputar kembali kemasa lalu ? Bagaimana kita sekarang, sepolos dahulu ? lalu bagaimana perjuangan kita sekarang ? Apa sehebat saat kita saling mencoba tidak menitik beratkan gelisah dengan mengabari, apa sehebat saat kita mencoba menahan malu saat bertatapan, apa sehebat saat kita mencoba berhubungan dekat, juga apa sehebat saat kita menahan rindu yang meronta meminta temu ? Dan terakhir, apa saat itu adalah kita ? Ya aku dan kamu ?! Atau hanya aku yang ada dalam "saat" itu.

Waktu itu, satu tahun lalu kita yang masih dalam keadaan malu malu untuk bertemu, malu malu untuk berbicara secara langsung pula semudahnya hai-pun kita masih sulit menggemakannya, karna kita yang dahulu adalah yang berani menyapa dalam tempurung tanpa pernah begitu berani menolehkan kata pada sepasang lirikan mata. Dulu, kita yang mengharapkan temu yang begitu sulitnya karna memang tak ada waktu untuk itu, kini ketika waktu itu hadir dipersimpangan sibukmu nyatanya sering disia - siakan. Dulu, bibir bibir kita yang begitu inginnya untuk saling sapa, saling berupaya untuk menghentakan kalimat - kalimat yang bersautan, mencoba menyisipkan tawa disamping obrolan kita, sekarang, saat segalanya terjadi, hanya diam yang kita andalkan. Sebegitunya kita sekarang berbeda dengan dulu.

Aku masih ingat pertama kali dimana aku hanya mampu memandang pesonamu dari kejauhan,dari sudut pandang jendela yang kututup rapat rapat agar kau tak tau gelagatmu sedang kuperhatikan, tawamu menghipnotis bibirku untuk tersenyum juga, betapa begitu elegannya kamu saat tertawa. Terlebih lagi, aku sangat ingat kelak aku yang mengharapkan duduk disampingmu dalam peraduan rasa yang dibubuhi malu malu, memberanikan diri meyapamu lebih dulu, dan saat Yang Kuasa menjadikannya nyata, kita hanya terpaku diam pada ukiran kayu sekolah yang kita tumpangi, karna begitu ragunya aku yang gemetar bersebelahan dengan seseorang yang mengambil perhatian juga perasaan secara sederhana, perlahan namun mematikan. Ingatan ini yang kurinduan, dimana dahulu kita begitu polosnya, begitu kakunya dalam memenuhi keinginan - perjumpaan.

Saat aku begitu rindunya denganmu, yang kulakukan hanya membaca percakapan kita disetiap malam, betapa ada banyak kelucuan tertinggal disana, mampu sekejap membelalakan tawa, pula sejenak menghentikannya dengan sunyi kemudian meninggalkan rinai air mata. Rindu bisakah perlahan saja menombak hatiku, runcingmu lancip sanggup seketika mengucurkan luka didada - ku, maka dari itu bisakah kamu tak lagi egois menumpukkan rindu padaku dan membiarkannya terpikul sendiri pada punggung yang haus perjumpaan, pun mengikhlaskan pertemuan menjadi satu kegiatan disela - sela kesibukan disetiap harinya bagi kita ?

Aku pernah menangis seketika saat kubaca ketakutanmu yang kau tulis pada lembaran kertas bertintakan hitam, dahulu kau tujukan itu padaku dengan perantara seseorang yang kini kau cemburui kehadirannya. Mataku merintih sedih melihat bait - bait aksaramu terutama kalimat terakhirmu, rasanya ingin kudekap kamu seerat - eratnya sambil kuyakinkan kamu bahwa sejauh apapun aku, dimana pun aku, kamu akan merasa dekat denganku, jika saja kau lirik kedalam hatimu. Begitulah pula caraku, meyakinkan hati walau kadang merasa benci dengan jarak yang begitu bajingannya menghambat indah yang kita dambakan, namun meski demikian, jika kita percaya aku yakin segalanya dapat teratasi. Saat ini, aku tak lagi mampu melihat setiap bait perkataanmu tersimpan ketakutanmu.

Katamu "jangan bandingkan aku dengan orang lain, lebih baik bandingkan saja aku dengan diriku sendiri". Seperti itu, baik. Kamu yang dulu kukenal sebagai pejuang, bukan dalam peperangan, tapi bagimana kamu berusaha mengabari aku, membuat percaya aku akan suatu hal bahwa kamu takan pernah bosan bersama sosok yang kau yakini mampu membuatmu merasa spesial; aku. Sebelumnya. Dan sekarang tak lagi ada kamu sebagai pejuang, yang ada mantan pejuang. Begitukah ? Saat itu, sebelum aku mulai bermimpi, diujung pembicaraan kita sering kali kamu sisipkan kata - kata yang membuat aku begitu luluh, begitu takut akan esok  tanpa kehadiranmu, begitu ingin hari - hariku nanti ialah waktu yang terhabiskan bersamamu.

Walaupun aku tahu perbedaan itu pasti akan ada seiring waktu, namun tidakah baiknya kita tetap menjadi dahulu, menjadi biasa tetapi amat dirindukan kehadirannya dari pada menjadi luar biasa namun tak mampu membuat segalanya menjadi hal hal nikmat yang dirindukan. Maaf jika aku menuntut terlalu banyak padamu, itu kulakukan semata - mata hanya karna aku tak lagi ingin seseorang yang kucintai terlalu jauh melangkah hingga ia lupa bahwasanya hal hal besar berawal dari hal hal kecil, sebab itu, sebaiknya; tetap jadilah mentari disenja hari yang tetap bersinar bagi penikmatnya namun ia tetap merendah diri, merendah hati.
5 Januari 2014 0 komentar

Jika Saja Sayang

Bukankah belum cukup lama kita saling tahu, saling kenal, juga saling terbahak pada setiap lelucon yang kamu buat buat, selama itu pula kamu menggoyahkan perasaan mati pada latar depan rumahku; hati - Dik. Ah maaf kau kusebut dik sebab Tuhan tak hanya membedakan jenis kita, tapi juga dia membedakan usia kita. Aku benci hal ini, segalanya  jadi berantakan, sayang yang mulai kau tata rapih kini luluh lantah karnanya, usia.

Aku tak cukup banyak menghabiskan waktu denganmu, bahkan sebut saja tiada kala untuk kita jumpa, bertatap wajah langsung hingga menyipukan malu pada diri kita, pada ragamu juga ragaku. "hai manis, tolong jangan usangkan anganku untuk bersamamu, menghitamkan yang putih, memendungkan yang cerah" bibirku berbicara pada kejinya cermin. Hah, beruntungnya aku, hari itu, kala kamu kenakan seragam pendidikanmu juga hal yang sama kulakukan, perasaan ini kamu buat tak karuan, gemetar, bibirku terbata untuk menjawab pertanyaanmu, "kak  boleh minta  nomer hpnya ga ?"sebatas itu katamu mampu melemaskan  aku yang sebelumnya memiliki denyut jantung  pada umumnya, namun setelahnya, sesudah perkataanmu itu merancukan detak detak normal menjadi semakin cepat. Enggan aku menyia nyiakan ini, kuberi secepatnya, hingga dipenghujung awal kenangan kamu tutup sapamu "makasih yah". Lagi kamu buat aku tak mampu berbicara hanya sebatas anggukan kepala yang sanggup kulakukan.

Dan lagi, upayamu, menyambut aku dengan kata kata sederhana pada pesan elektronik, sebut saja handphone. mungkin saat itu aku adalah manusia yang paling bahagia, betapa tidak, tak lama selang tutur kataku kau bungkan dalam manis, kamu hias habis wajahku dengan senyum ketika aku tatap layar handphone-ku, melihat gurauan pesanmu yang lucu. Begitu seterusnya sampai detik ini, sampai tumbuh bunga bunga sayang dikebun hati.

Hm, tapi aku takut, segala hal berantakan yang mulai kau susun rapih hanyalah kebohongan besar, gaya humorismu, elok tatapmu bukan kepastian akan aku menjadi milikmu pun kamu menjadi milikku, dik. Kamu tak pernah membincangkan tentang perasaanmu, padahal aku berulang ulang kali menyalakan tanda bahwa aku siap berdampingan dengan kamu. Iya kamu yang berambut hitam, kamu yang dengan alis tebal diatas bola matamu, juga kamu yang dengan pandangan mempesona, mengalihkan perhatianku dengan cepatnya. Pula aku takut mengartikan perhatianmu adalah cinta, aku takut membenarkan kata kata gombalmu itu sayangmu dan aku takut menetapkan pemahamanmu adalah bagian dari perhatianmu.

Kesekian kalinya, pandanganku melihat jelas rona wajahku sendiri dalam cermin, menyabarkan juga menyadarkan hati, hingga akupun memilik anggapan "mungkin baiknya kita hanya  berteman, melepas  ketidak jelasan atas segalanya, membiarkan perasaan ini memudar sebab jka kita punya kejelasan pun nantinya kita hanya terpisahkan oleh kehilangan yang tak lagi lama".
Seandainya saja aku adalah teman teman sebayamu , berumuran sama sepertimu, aku takan tega menyakiti hatiku sendiri, membanjiri pipi hanya dengan tangisan sia - sia dipenghujung malam, mengharpakan khayalan indah menjadi nyata.

Jika saja sayang, perbedaan itu tak hadir, betapa riang gembiranya aku dapat lebih lama memandangmu, memandangi lekuk wajahmu yang elok, menikmati lucunya celotehmu secara jelas, serta meniti kenangan bersama, namun segalanya palsu, kenangan yang rencananya akan kubuat denganmu kini tinggalah mimpi. Tapi setidaknya aku pernah bersama bahagiaku; kamu. meskipun aku tahu, bahagiaku tak benar benar berada padamu.

Terima kasih Tuhan atas segalanya, atas kehadirannya yang kau kehendaki tiba dikehidupanku, walau kadang ia membuat perih, namun tanpa pamrih ia juga melesatkan senyum yang terpampang padaku. kini sebaiknya, tak seharusnya aku yakinkan diri bahwa dia mencintaiku- juga, hanya karena dia bersikap manis padaku, kadang kita hanya sebuah pilihan ketika dia bosan
 
;