18 Desember 2013

Tawamu Diatas Cemburuku

23:23 dimana kutulis ini, rasa yang kutahan ketika aku tak lagi sanggup, tak lagi kuat mengungkapkan. Dimana ku rangkai kalimat kalimat pernyataan atas hati yang gugur perlahan. Dimana aku terdiam mengusap tangis yang kau sematkan.

Sudah larut malam, jika tanyamu kenapa aku belum terlelap tidur, jawabku "aku hanya terus terpikir bahwa sanggupkah aku bila harus tanpamu, sanggupkah aku jika nyatanya tawamu tak lagi hadir sebab candaan yang biasa aku lontarkan padamu, melainkan darinya sosok yang mulai kau kagumi". Ah tak taulah !! segalanya buat aku resah, rasanya ingin aku bunuh hati agar tak lagi ada perasaan sesak, agar tak lagi ada perasaan rindu, pun agar tak lagi ada kamu yang sampai detik ini ku kurung dalam sudut kecil - hati.

Bukankah sama perkara - perkara sebelumnya dengan kali ini, mengapa ??
Mengapa kamu enggan melirik matamu keujung atap tempat yang kudiami; rumah. Tempat dimana aku tepat merasakan pedih, lirih malam ini.
Haha lucu memang memintamu mengerti , perihalnya prinsipmu adalah aku yang seharusnya mengerti kamu, maka salahlah aku. Jika saja raga takan mati bila ku ajak pergi hati keluar rumahnya, berjalan menghampiri sorot mata yang melihat tapi buta. Menjelaskan betapa hitamnya ia (hati) karna terlalu lama megendapkan asap pedih, asap hasil hirupan sesak atas jeritan mata kepala yang tak sanggup bicara, jelas !
Dari mata turun ke hati, bukan tentang cinta tapi tawamu yang tersebar disana sini dalam wilayah cumbuku.

Memang dalam jejaring sosial itu hanya beberapa kalimat obrolan yang muncul antara kamu dengan dia, dia yang sejatinya juga mampu menumbuhkan suka lewat kebiasaan. Menurutmu tak seberapa banyak namun mataku melihat segalanya terjadi dalam hitungan menit, hitungan yang kala itu juga kamu tidak tahu hati juga mata yang berkaca - kaca menahan rasa sesak di dada yang kau tinggalkan, rasa cemburu bergelora, menyemarakkan sakit mulai meronta - ronta.

Beruntungnya dia yang kini mendapat senyummu, sedang aku disini, berusaha menipiskan tebalnya lara.

Begitu tololnya aku,
mengikuti aliran arus yang begitu tenang seakan takkan terjadi apa - apa, padahal terjangan ombak deras ada didepan muara, bukan berujung lautan tapi jurang.
Dengannya kamu tertawa, tak apa. Akan kucoba kuat walau nyatanya aku tak mampu menahan segala cemburu. Kasih, andaikan saja hati Tuhan beri kemampuan bicara, akan kubiarkan ia memarahimu dengan segala nasihatnya akan kubiarkan dia mengungkapkan sejujurnya "aku yang benar benar mencintaimu dengan tulus, dengan memanglingkan wajah pula hati dari yang lainnya, dari yang sebenarnya melebihimu", juga kubiarkan dia menangis sekencang kencangnya agar kamu tahu betapa iya begitu terpukul saat ruang hati lainnya lupa ketika kamu tertawa dengannya juga meninggalkan luka disisi lainnya (aku) dan kala hati yang dicintainya (kamu) perlahan pergi dan mulai cekikikan diatas cemburu - ku.

Semua akan meminta pada Tuhan bertukar raga supaya satu sama lainnya tahu bagimana sakitnya cemburu, menahan rasa yang tak sanggup diungkapkan, dengan harapan kemudian ia tak lagi mengulang dan menghargai perasaan, namun tidaklah begitu nyatanya, derai air mata menjadi pilihan atas bibir yang terbungkam kaku; membisu, membeku menahan seribu kata.

Kini aku hanyalah paham, saat orang yang aku cintai tak lagi menghargai sabar, maka cukupkanlah. Selanjutnya serahkan pada Yang Esa. Biar, biarkan Dia memasangkan kita dengan yang baik, dengan yang menghargai juga memahami hati.



Pada malam yang menghanyutkan perasaan
biarkan bintang pula bulan bersinar terang
menerangi hati - hati yang redup. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;