5 Januari 2014

Jika Saja Sayang

Bukankah belum cukup lama kita saling tahu, saling kenal, juga saling terbahak pada setiap lelucon yang kamu buat buat, selama itu pula kamu menggoyahkan perasaan mati pada latar depan rumahku; hati - Dik. Ah maaf kau kusebut dik sebab Tuhan tak hanya membedakan jenis kita, tapi juga dia membedakan usia kita. Aku benci hal ini, segalanya  jadi berantakan, sayang yang mulai kau tata rapih kini luluh lantah karnanya, usia.

Aku tak cukup banyak menghabiskan waktu denganmu, bahkan sebut saja tiada kala untuk kita jumpa, bertatap wajah langsung hingga menyipukan malu pada diri kita, pada ragamu juga ragaku. "hai manis, tolong jangan usangkan anganku untuk bersamamu, menghitamkan yang putih, memendungkan yang cerah" bibirku berbicara pada kejinya cermin. Hah, beruntungnya aku, hari itu, kala kamu kenakan seragam pendidikanmu juga hal yang sama kulakukan, perasaan ini kamu buat tak karuan, gemetar, bibirku terbata untuk menjawab pertanyaanmu, "kak  boleh minta  nomer hpnya ga ?"sebatas itu katamu mampu melemaskan  aku yang sebelumnya memiliki denyut jantung  pada umumnya, namun setelahnya, sesudah perkataanmu itu merancukan detak detak normal menjadi semakin cepat. Enggan aku menyia nyiakan ini, kuberi secepatnya, hingga dipenghujung awal kenangan kamu tutup sapamu "makasih yah". Lagi kamu buat aku tak mampu berbicara hanya sebatas anggukan kepala yang sanggup kulakukan.

Dan lagi, upayamu, menyambut aku dengan kata kata sederhana pada pesan elektronik, sebut saja handphone. mungkin saat itu aku adalah manusia yang paling bahagia, betapa tidak, tak lama selang tutur kataku kau bungkan dalam manis, kamu hias habis wajahku dengan senyum ketika aku tatap layar handphone-ku, melihat gurauan pesanmu yang lucu. Begitu seterusnya sampai detik ini, sampai tumbuh bunga bunga sayang dikebun hati.

Hm, tapi aku takut, segala hal berantakan yang mulai kau susun rapih hanyalah kebohongan besar, gaya humorismu, elok tatapmu bukan kepastian akan aku menjadi milikmu pun kamu menjadi milikku, dik. Kamu tak pernah membincangkan tentang perasaanmu, padahal aku berulang ulang kali menyalakan tanda bahwa aku siap berdampingan dengan kamu. Iya kamu yang berambut hitam, kamu yang dengan alis tebal diatas bola matamu, juga kamu yang dengan pandangan mempesona, mengalihkan perhatianku dengan cepatnya. Pula aku takut mengartikan perhatianmu adalah cinta, aku takut membenarkan kata kata gombalmu itu sayangmu dan aku takut menetapkan pemahamanmu adalah bagian dari perhatianmu.

Kesekian kalinya, pandanganku melihat jelas rona wajahku sendiri dalam cermin, menyabarkan juga menyadarkan hati, hingga akupun memilik anggapan "mungkin baiknya kita hanya  berteman, melepas  ketidak jelasan atas segalanya, membiarkan perasaan ini memudar sebab jka kita punya kejelasan pun nantinya kita hanya terpisahkan oleh kehilangan yang tak lagi lama".
Seandainya saja aku adalah teman teman sebayamu , berumuran sama sepertimu, aku takan tega menyakiti hatiku sendiri, membanjiri pipi hanya dengan tangisan sia - sia dipenghujung malam, mengharpakan khayalan indah menjadi nyata.

Jika saja sayang, perbedaan itu tak hadir, betapa riang gembiranya aku dapat lebih lama memandangmu, memandangi lekuk wajahmu yang elok, menikmati lucunya celotehmu secara jelas, serta meniti kenangan bersama, namun segalanya palsu, kenangan yang rencananya akan kubuat denganmu kini tinggalah mimpi. Tapi setidaknya aku pernah bersama bahagiaku; kamu. meskipun aku tahu, bahagiaku tak benar benar berada padamu.

Terima kasih Tuhan atas segalanya, atas kehadirannya yang kau kehendaki tiba dikehidupanku, walau kadang ia membuat perih, namun tanpa pamrih ia juga melesatkan senyum yang terpampang padaku. kini sebaiknya, tak seharusnya aku yakinkan diri bahwa dia mencintaiku- juga, hanya karena dia bersikap manis padaku, kadang kita hanya sebuah pilihan ketika dia bosan

0 komentar:

Posting Komentar

 
;