24 Februari 2014

Justru Karena Aku Sayang




Tertanggal waktu diantara pagi dan akhir malam, aku mencoba menyampingkan diri dalam tabah, menjauhkan langkah dari yang kusebut kedekatan denganmu, dari sesuatu yang kuanggap kebahagiaan, darimu. Aku akan membiarkanmu seseorang yang aku cintai, menggugurkan segala yang pernah saling kita tetapkan – perasaan. Karena, kita tak saling sadar. Kamu tak sadar bahwa aku sudah membohongi kepercayaanmu, aku telah menghancurkan hatimu perlahan tanpa kausadari kebohonganku iyalah yang menjelma menjadi kejujuran, sebab aku tak yakin mengatakan perihal pahit tentangku kehadapan telingamu dan aku juga tak sadar, usiaku tinggal menghitung malam.

Tadinya, aku adalah si egois perihal kamu, tak ingin satupun hati lain terlalu dekat denganmu. Tadinya, aku adalah si pencemburu tentang tawamu, debar rasanya ingin mengobrak abrik seseorang yang sanggup membuatmu tertawa selain aku. Tadinya, sebelum aku menggubris sakit didada, aku sempat ingin, kelak kita akan bersama – sama bahagia, dan aku akan memperjuangkannya, aku akan memberikannya tanpa kau harus meminta, aku akan membahagiakanmu walau tanpa materi, cukup dengan cinta, aku sanggup menebar suka dirona wajahmu. Dan sekarang, aku sadar. Tak mungkin dengan kekuranganku, aku memilikimu seutuhnya, selamanya. Aku paham khayalan ini tidak akan menjadi nyata tanpa campur tangan materi.

Tentangku kamu hanya tau aku adalah seseorang yang terlihat baik – baik saja, aku orang humoris yang tak banyak gaya, aku seseorang yang kau percaya kata – katanya. Padalah, aku tak lebih dari seorang pendusta, pada kenyataannya saat ku bilang baik padamu, aku tak benar – benar baik. Tingkah humoris yang kuperlihatkan sekedar menutup perasaan sesal. Segalanya kulakukan sebab aku menyayangimu, jika saja kau tahu dirongga dadaku tersimpan sepenggal penyakit ganas, mungkin kamu sudah jauh pergi, karna siapa yang mau dengan seseorang yang umurnya tinggal menghitung malam.

Aku pernah merasa Tuhan tak adil, disaat yang lainnya bebas beraktifitas, aku hanya duduk diam memikirkan kematian yang tak lagi lama. Aku juga ingin merasa bebas sama seperti  yang lainnya, aku pula ingin merasakan bahagia denganmu tanpa terbelenggu waktu dan usia.

Di dinginnya malam aku pernah terpikir tentang kita, tentang aku dan kamu. Aku mulai harus mampu melepaskan keegoisan, merelakanmu tertawa dengan siapapun, serta aku mulai berupaya menabahkan hati dengan iringan doa, kelak; ketika kamu merindukanku namun terpisah oleh jarak yang tak lagi mampu didekatkan maka doakanlah aku setulus rindumu, biar saat itu pula kamu tak merasa terbebankan atas apa yang kamu hapakan tetapi tak bisa menjadi kenyataan pada akhirnya dan semoga akan ada pengganti yang akan mengatakan bahwa ia mencintaimu lebih baik dari pada nama yang tertulis dibatu nisan; namaku.

Maka ijinkan aku jujur dan berjanjilah saat kamu mendengarkan aku, kamu tak menumpahkan basah dimatamu, kamu tak memukulku dengan kecewa dilenganmu, juga kamu tak mencibirku atas lukamu. Biarkan kejujuran sebenarnya menjadi alasan mengapa aku berbohong padamu , sebab aku tak mungkin langsung mengatakan padamu bahwa aku divonis mengidap penyakit yang tipis harapannya untuk sembuh, karnanya sebelum aku terbungkus pakaian beserta tanah, aku ingin mellihat kamu bahagia dengan atau tanpaku sekalipun, melihatmu tertawa dan melihatmu ceria tanpa kamu harus tau sakitnya aku yang menderita.

Aku ingat kita pernah duduk berdua, diujung bangku dekat pohon rindang dengan disaksikan burung – burung gereja tua serta merta riuhnya rumpun yang digoyang angin. Seketika kamu buat aku tercengang mendengar perkataanmu yang mengatakan sayang padaku, disitu kamu sempat buat aku menyembunyikan air mata saat kamu bilang “Sayang, aku pengen kita saling terbuka. Kalo ada masalah apapun itu cerita ajayah”

Betapa tololnya aku membohongimu, berpura – pura baik tanpa sedikit gejala penyakit, belaku jujur tanpa sedikitpun memperlihatkan suatu kebohongan pahit. Seandainya saja kamu tahu, aku tak ingin membutamu menangis mendengarkan pernyataanku tentang semuanya, andai saja kamu tahu, disetiap harinya  aku merasa seperti tersiksa menelan begitu banyaknya pil penyembuh padahal semuanya hanya sia – sia, entah karna apa aku begitu percaya hidupku takan lagi lama didunia.

Walaupun, sebenarnya aku ini begitu ingin bersamamu, didekatmu, mendekap ketika kamu didera gigil, ketika kamu dihujankan masalah hingga menjadikan mendung dimatamu dan aku sudah siap dengan bahuku untuk menopang itu. Namun inilah hidup, tak segala hal yang kuinginkan menjadi sebuah kenyataan. Dengan penyakitku ini, berbahagialah dengan yang lainnya. Nanti kamu akan tahu saat aku mulai dihampiri ajal, segala yang kujujurkan padamu tak selamanya itu jujur, sikap baik – baikku tak semuanya itu benar – benar baik.

Saat ini yang ku tahu, kita hanyalah sepenggal harapan kecil, kamu mencintaiku dan akupun juga mencintaimu, tetapi takdir berkata lain, selamanya tak mungkin kita gapai. Tuhan rindu aku, Dia menitipkan sesuatu dirongga dadaku supaya aku selalu dekat dengan-Nya. Tak apa kamu tak tahu hal ini, karna aku tak ingin melihat sedih bercucuran dari bola  matamu. Sebab itu kubiarkan kamu lepas dari genggamku, berbahagialah dengan orang yang tepat, yang mencintaimu dengan ikhlas, yang sanggup membahagiakanmu sampai kelak kamu mempunyai turunan bahkan sampai diujung nafas kematian, dan sampai akhirnya kamu tau ini adalah harapanku dimasa depan, nanti; jika aku sehat, jika aku masih diberi waktu untuk tetap bersamamu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;