Tertanggal waktu diantara pagi
dan akhir malam, aku mencoba menyampingkan diri dalam tabah, menjauhkan langkah
dari yang kusebut kedekatan denganmu, dari sesuatu yang kuanggap kebahagiaan,
darimu. Aku akan membiarkanmu seseorang yang aku cintai, menggugurkan segala
yang pernah saling kita tetapkan – perasaan. Karena, kita tak saling sadar.
Kamu tak sadar bahwa aku sudah membohongi kepercayaanmu, aku telah
menghancurkan hatimu perlahan tanpa kausadari kebohonganku iyalah yang menjelma
menjadi kejujuran, sebab aku tak yakin mengatakan perihal pahit tentangku
kehadapan telingamu dan aku juga tak sadar, usiaku tinggal menghitung malam.
Tadinya, aku adalah si egois
perihal kamu, tak ingin satupun hati lain terlalu dekat denganmu. Tadinya, aku
adalah si pencemburu tentang tawamu, debar rasanya ingin mengobrak abrik
seseorang yang sanggup membuatmu tertawa selain aku. Tadinya, sebelum aku
menggubris sakit didada, aku sempat ingin, kelak kita akan bersama – sama bahagia,
dan aku akan memperjuangkannya, aku akan memberikannya tanpa kau harus meminta,
aku akan membahagiakanmu walau tanpa materi, cukup dengan cinta, aku sanggup
menebar suka dirona wajahmu. Dan sekarang, aku sadar. Tak mungkin dengan
kekuranganku, aku memilikimu seutuhnya, selamanya. Aku paham khayalan ini tidak
akan menjadi nyata tanpa campur tangan materi.
Tentangku kamu hanya tau aku
adalah seseorang yang terlihat baik – baik saja, aku orang humoris yang tak
banyak gaya, aku seseorang yang kau percaya kata – katanya. Padalah, aku tak
lebih dari seorang pendusta, pada kenyataannya saat ku bilang baik padamu, aku
tak benar – benar baik. Tingkah humoris yang kuperlihatkan sekedar menutup
perasaan sesal. Segalanya kulakukan sebab aku menyayangimu, jika saja kau tahu
dirongga dadaku tersimpan sepenggal penyakit ganas, mungkin kamu sudah jauh
pergi, karna siapa yang mau dengan seseorang yang umurnya tinggal menghitung
malam.
Aku pernah merasa Tuhan tak
adil, disaat yang lainnya bebas beraktifitas, aku hanya duduk diam memikirkan
kematian yang tak lagi lama. Aku juga ingin merasa bebas sama seperti yang lainnya, aku pula ingin merasakan
bahagia denganmu tanpa terbelenggu waktu dan usia.
Di dinginnya malam aku pernah
terpikir tentang kita, tentang aku dan kamu. Aku mulai harus mampu melepaskan
keegoisan, merelakanmu tertawa dengan siapapun, serta aku mulai berupaya
menabahkan hati dengan iringan doa, kelak; ketika kamu merindukanku namun
terpisah oleh jarak yang tak lagi mampu didekatkan maka doakanlah aku setulus
rindumu, biar saat itu pula kamu tak merasa terbebankan atas apa yang kamu
hapakan tetapi tak bisa menjadi kenyataan pada akhirnya dan semoga akan ada
pengganti yang akan mengatakan bahwa ia mencintaimu lebih baik dari pada nama
yang tertulis dibatu nisan; namaku.
Maka ijinkan aku jujur dan berjanjilah
saat kamu mendengarkan aku, kamu tak menumpahkan basah dimatamu, kamu tak
memukulku dengan kecewa dilenganmu, juga kamu tak mencibirku atas lukamu.
Biarkan kejujuran sebenarnya menjadi alasan mengapa aku berbohong padamu ,
sebab aku tak mungkin langsung mengatakan padamu bahwa aku divonis mengidap
penyakit yang tipis harapannya untuk sembuh, karnanya sebelum aku terbungkus
pakaian beserta tanah, aku ingin mellihat kamu bahagia dengan atau tanpaku
sekalipun, melihatmu tertawa dan melihatmu ceria tanpa kamu harus tau sakitnya
aku yang menderita.
Aku ingat kita pernah duduk
berdua, diujung bangku dekat pohon rindang dengan disaksikan burung – burung
gereja tua serta merta riuhnya rumpun yang digoyang angin. Seketika kamu buat
aku tercengang mendengar perkataanmu yang mengatakan sayang padaku, disitu kamu
sempat buat aku menyembunyikan air mata saat kamu bilang “Sayang, aku pengen
kita saling terbuka. Kalo ada masalah apapun itu cerita ajayah”
Betapa tololnya aku
membohongimu, berpura – pura baik tanpa sedikit gejala penyakit, belaku jujur
tanpa sedikitpun memperlihatkan suatu kebohongan pahit. Seandainya saja kamu
tahu, aku tak ingin membutamu menangis mendengarkan pernyataanku tentang
semuanya, andai saja kamu tahu, disetiap harinya aku merasa seperti tersiksa menelan begitu
banyaknya pil penyembuh padahal semuanya hanya sia – sia, entah karna apa aku
begitu percaya hidupku takan lagi lama didunia.
Walaupun, sebenarnya aku ini
begitu ingin bersamamu, didekatmu, mendekap ketika kamu didera gigil, ketika kamu
dihujankan masalah hingga menjadikan mendung dimatamu dan aku sudah siap dengan
bahuku untuk menopang itu. Namun inilah hidup, tak segala hal yang kuinginkan
menjadi sebuah kenyataan. Dengan penyakitku ini, berbahagialah dengan yang
lainnya. Nanti kamu akan tahu saat aku mulai dihampiri ajal, segala yang
kujujurkan padamu tak selamanya itu jujur, sikap baik – baikku tak semuanya itu
benar – benar baik.
Saat ini yang ku tahu, kita
hanyalah sepenggal harapan kecil, kamu mencintaiku dan akupun juga mencintaimu,
tetapi takdir berkata lain, selamanya tak mungkin kita gapai. Tuhan rindu aku,
Dia menitipkan sesuatu dirongga dadaku supaya aku selalu dekat dengan-Nya. Tak
apa kamu tak tahu hal ini, karna aku tak ingin melihat sedih bercucuran dari
bola matamu. Sebab itu kubiarkan kamu
lepas dari genggamku, berbahagialah dengan orang yang tepat, yang mencintaimu
dengan ikhlas, yang sanggup membahagiakanmu sampai kelak kamu mempunyai turunan
bahkan sampai diujung nafas kematian, dan sampai akhirnya kamu tau ini adalah
harapanku dimasa depan, nanti; jika aku sehat, jika aku masih diberi waktu
untuk tetap bersamamu.
0 komentar:
Posting Komentar