Segala
kecemasan selalu mampir di waktu paling aku tidak suka, ketika aku mulai nyaman
dengan hal – hal kecil yang kamu buat mulai berbeda ketika tak kau izinkan
mengetahui kabarmu, aku sadar bahwa sakit ini memang sudah seharusnya. Maaf
jika itu juga memposisikanmu ketempat paling tidak nyaman, aku begitu karena
rindu.
Malam
itu tak banyak yang ku ingat selain gelisah dan getir. Perihal apa saja
layaknya tak pantas memenuhi semestaku kala itu tak terkecuali tiga kata
terakhir pada kalimat pertama dalam paragraf kedua. Gelisah dan getir, adalah
kata sifat sebagai sikap protes kenapa tak sama sekali aku kau beri berita
tentang keadaanmu, pada akhirnya mungkin diamlah kata kerja paling baik yang
aku gunakan.
Jika
rindu pulang, selalu seperti itu membawa resah sebagai temen paling akrab untuk
berbincang. Wajar saja jika banyak kamu baca persoalan tak enak yang sengaja
aku tulis sebagai bentuk puisi patah hati atas emosi dimana bibirku sudah bisu –
tak lagi sanggup menafsirkan ketakutannya.
Rindu
memang begitu, malu – malu. Sebab itu, jika kau tanya kenapa, aku akan
berbicara seakan semuanya baik – baik saja dan berpura – pura kalau aku baik –
baik saja; tak sedang sakit hati. Aku tersenyum supaya kau tak terus
menyalahkan dirimu sendiri pada apa yang menimpaku, ini bukan salahmu, ini
tentang jarak dan kesabaran. Seandainya rasa rindu berbanding lurus dengan
tingkat pertemuan, mungkin akan banyak manusia yang tak lagi kebingungan
mengurus satu kegetiran. Itulah kenapa bagiku rindu iyalah kata paling ironis
ketimbang teman makan teman.
Maaf
harus merepotkanmu untuk datang dan mengomentari apa yang tidak sesuai. Maaf,
kata ironis ini membuat kamu harus berubah bukan menjadi dirimu sendiri. Jangan
membohongi diri hanya agar aku tertawa, itu sama saja kau bohongi aku dengan
cara halus tapi lebih sakit rasanya dibanding kau berkata jujur bahwa kau tidak
mencintaiku. Kehadiranmu sudah cukup sebagai alasan senyumku, tak perlu aneh –
aneh. Tidak usah menjadi mentari jika kau hanya sanggup jadi pelangi, biar aku
yang menjadi sebait hujan lalu menyisahkan genangan – genangan dan Tuhan dengan
kuasa-Nya membiaskan aku dengan cahaya mentari agar keanggunanmu kokoh dilangit
biru. Gampangnya, tidak usah repot menjadi yang terbaik tapi jadilah yang satu –
satunya.
Puan,
bila caraku salah merindukanmu, tolong jangan salahkan rindu itu, salahkan saja
aku yang terus merindukanmu berulang – ulang. Seandainya itu membuatmu tak
nyaman, aku minta maaf. Satu hal lagi, maaf aku tak pernah izin menyebutkanmu
berkali – kali dihadapan-Nya itu karena degup tak pernah menjadi lebih tenang
sebelum pertemuan.
0 komentar:
Posting Komentar