Rembulan dan anak – anak bintang beberapa perkara langit
yang tak ingin dilupakan tatap mataku begitu saja, malam itu. Sepi dan gigil
pertanyaan yang ingin segera dihangatkan rebah bersamaku menghadap ke arah rasi
yang belum tersusun rapih dipelataran rumah kala itu. Entah harus bagaimana,
aku menanggapi anggapan – anggapanmu dimana hanya terisi ke-sialan dan ketidak
benaran.
Ketika aku baru saja sekedar ingin menghabiskan perbincangan
dengan langit, berbincang tentangmu dimana ku ceritakan habis – habisan di
hadapan rembulan yang ku tatap penuh kebahagiaan dan beribu keinginan,
menyamakanmu dengan para bintang dikelap malam, bersinar tanpa ragu meski hanya
terlihat seperti setitik tinta dilembaran tugas tak bernama. Tak kusangka,
persekian menit segalanya berubah ketika kubaca balasan pesan singkat darimu,
perasaanku bagai kau remas seseorang yang kau benci, ingin kau hancurkan tanpa
sisa, tanpa sia – sia.
Rasi – rasi hampir tersusun rapih, membentuk wajahmu yang ku
ingat dalam ruang bernama ingatan kini mulai pudar perlahan tanpa ingin lagi
disatukan. Ternyata dugaanku salah, perihal prasangka – prasangka buruk yang
enggan kau ajukan kepadaku hanya untuk menunjukkan siapa yang paling benar
ternyata juga kamu permasalahkan dimeja sidang kehancuran tanpa pengadil
keputusan juga tanpa banding yang dapat aku sampaikan. Sungguh, degup tak lagi
karuan hingga denyutnya tidak lagi mampu diterka urat nadiku, apakah itu
perasaan malu – malu ataukah perasaan rindu, jelas bukan keduanya -- kan. Tapi
bagaimana, aku bisa apa ? Itu sudah pilihanmu, menyangka aku hanya sekedar
berasal dari perkataan orang lain melainkan bukan kenyataan yang kamu ketahui
benar – benar tentangku.
Memang, aku tempat paling baik untuk semua perihal buruk
yang terbang keluar dari bibirmu,
anggapan – anggapan apapun rasanya layak digelarkan kepadaku. Enak tak enak,
suka tidak suka, semuanya harus ku telan sendirian, dalam – dalam. Pahit memang
dikira yang bukan – bukan sementara tak sesuai keadaannya. Lantas apalagi,
ingin marahpun untuk apa, percuma. Diam, mungkin pilihan paling baik. Terlalu
berlebihan jika itu ku anggap luka, sekedar kecewa mungkin iya sebab dugaanmu
tak kau pikir matang – matang lebih dulu sebelum akhirnya jadi kesalahan. Tapi
ya sudahlah terserah maumu.
Aku akan lebih diam jika lain kali kamu beranggapan
demikian, lagi. Aku akan lebih masa bodo dengan prasangka – prasangka yang pada
faktanya itu bukan aku. Jangan buat aku bingung harus bagaimana bersikap
kepadamu setelah itu, tapi cobalah sedikit mengerti aku juga butuh dipahami
dari pada sekedar kau nyatakan demikian tapi tanpa bukti yang dapat kamu
perlihatkan.
0 komentar:
Posting Komentar